(Gambar oleh Prawny dari Pixabay)

sinergispress.com - Pada suatu titik setelah perjuangan dengan bayaran keringat dan darah, ada saatnya manusia menyerah. Manusia memang lemah, begitu juga dengan jiwa mereka. Kemanusiaan hanya berpihak kepada mereka yang beruang. 

Kepentingan bersama hanya kata-kata manis mulut mereka yang busuk dengan bau darah–darahku, darah istriku, dan darah orang-orang yang senasib denganku. Oh, sayangku, istri tercintaku, lima tahun lalu di tempat ini kupeluk tubuh indahmu, bumi dan segala isinya menjadi saksi saat itu bagaimana engkau tersenyum bahagia dalam pelukanku. Sungguh tragis nasibmu, mungkin sekarang tubuh indahmu sudah menjadi santapan belatung-belatung menjijikkan. Memang kejam, bukan hanya manusia, bumi dan semesta sendiri seakan merestui tindakan mereka. 

Bisa apa diriku dengan kekuatan yang tak berdaya menghadapi kerusakan mereka yang sudah dianggap sebuah kebenaran. Hukum lebih kuat daripada perasaan. Sistem lebih diutamakan daripada kemanusiaan. Baik hukum atau sistem itu sendiri adalah alat pembunuhan. Alat untuk membunuh aku, istriku, dan orang-orang yang memiliki nasib yang sama seperti kami.

Sayang, jika kamu masih hidup, sebagaimana menurut agama bahwa kematian adalah awal dari kehidupan yang kekal. Tolong sampaikanlah kepada Tuhan yang selalu kau sembah setiap hari, sedari mulai fajar sampai malam berganti. Sampaikanlah kepada-Nya, apakah Dia merestui perbuatan mereka, apakah Dia membiarkan hukum-hukum-Nya dilecehkan oleh hukum mereka. 

Istriku sayang, sampaikanlah kepada-Nya, kata agama doa atau pengaduan orang yang hatinya suci akan lebih sampai daripada hati yang diselimuti oleh pekatnya dosa, kata agama juga doa dan pengaduan orang yang terzalimi akan lebih didengar dan dikabulkan keinginannya. Istriku sayang, sebagaimana engkau, aku pun terzalimi. Tetapi hatiku tak sesucimu, sayang. Hatiku sudah gelap oleh dosa atau mungkin sudah tak ada setitik pun cahaya ketuhanan. Sayang, sampaikanlah doa ini kepada-Nya, aku tak memiliki muka untuk menghadap kepada-Nya secara langsung, kau lebih dekat dengan-Nya. Hanya kekuatan-Nya yang mungkin bisa menghadapi kuatnya sistem mereka yang rusaknya sudah mengakar. Saat ini seluruh desa Banyuasih sudah tak karuan. Bangsat-bangsat itu sudah pasti sedang tertawa melihat kambing hitam mereka sedang dikejar masyarakatnya sendiri. Tuhan... aku memang bukan orang yang baik dalam mengabdi kepadamu tapi aku yakin Kau tak buta melihat pengabdianku kepada rakyatku, umat yang percaya kepadaMu. Aku Subagja Adji Lesmana seorang yang namanya selalu tertulis dalam tamu kehormatan kenduri, hajatan, dan pesta-pesta kampung–sangat dihormati. Kini sudah hilang semuanya.

Aku dihinakan dianggap sebagai iblis hanya karena aku tak memenuhi keinginan mereka. Ah... betapa kasihannya masyarakat desa, mereka tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, akibat apa yang akan mereka tanggung, jika mereka mengikuti keinginan orang-orang bangsat itu.

Setelah kepergianmu empat tahun lalu, aku memang menginginkan suatu jabatan demi tak terulangnya tragedi itu. Tragedi yang membuat kau dan orang-orang yang sama tak mampunya seperti kita pergi untuk selama-lamanya. Istriku sayang, aku tak akan pernah lupa apa yang membuatmu tak bisa bersamaku lagi, tak akan pernah kulupakan bagaimana empat tahun lalu jiwamu pergi dalam pelukanku. Penyakit itu menyerangmu, menyerang orang-orang desa tapi karena rusaknya sistem kau tak bisa menikmati kemajuan peradaban, kemajuan ilmu kedokteran yang katanya ada untuk manusia. Oh, malangnya cintaku, saat itu ilmu kedokteran bukan ada untukmu, melainkan untuk orang-orang yang beruang, berkekuasaan. 

Kini aku sudah memiliki jabatan, tetapi tetap saja kalah oleh orang yang lebih kuat, oleh orang yang lebih beruang. Betapa rusaknya sistem saat ini. Aku lelah, sayang... langit timur sudah berwarna kuning kejinggaan, terangnya siang akan segera padam sebagaimana aku yang akan dilahap oleh kegelapan. Angin senja menyapa tubuhku dengan lembut, lagi-lagi mengingatkanku kepadamu, istriku tercinta. 

Dari kejauhan terlihat seorang berjalan ke arahku dengan tubuh sedikit membungkuk, berjalan dengan perlahan-lahan yang membuatku waswas. Kewaspadaan meningkat memantau orang itu yang semakin lama, semakin mendekat. Aku menyembunyikan tubuhku di balik pohon besar, dari kejauhan sudah aku pastikan dia adalah seorang pria dengan perawakan sedang memakai pakaian serba hitam dan golok terselip di pinggang kanannya. Orang ini seperti orang yang aku kenal, tetapi aku tetap berada di balik pohon dengan tak mengurangi kewaspadaan sedikit pun. Sedikit saja aku membuat kesalahan bisa jadi aku akan diseret paksa dan seperti kejadian-kejadian lalu–ketika warga desa menyeret paksa seorang dukun cabul, dukun itu berakhir menjadi mayat gosong dibakar di tengah-tengah massa.

Orang itu semakin mendekat, yang ternyata dia Tisna sahabatku yang masa mudanya dihabiskan berkeliling Jawa dan Sumatra untuk berguru mempelajari bela diri. Kemasyhurannya sebagai jawara sudah tak diragukan lagi. Seketika aku keluar dari persembunyian untuk menanyakan situasi terkini di desa, dengan gayanya yang lugas dia langsung menceritakan bagaimana kondisi terkini. 

"Warga ngamuk mencari kau, Ji. Mereka membakar rumahmu. Ternak-ternakmu juga tak luput dari amukan mereka, dibabat habis, tak tersisa."

Andai saja orang-orang tahu apa yang sebenarnya terjadi, ketidaktahuan merubah mereka menjadi bukan manusia. Uang membuat mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Mereka dengan mudahnya terhasut oleh orang-orang bangsat itu yang menuduh sesuatu yang tak aku perbuat. Ketidaktahuan menutupi cahaya kebenaran. Karena uang, mereka terhasut dalam jebakan setan yang orang-orang bangsat itu perbuat. Lebih menyakitkan lagi, mereka lebih percaya bangsat-bangsat itu daripada aku yang memperjuangkan mereka selama ini. Istriku sayang, sampaikanlah pada Tuhan yang ada di sisimu itu, aku kasihan kepada-Nya. Dalam hati mereka, kedudukan-Nya sudah tergantikan oleh uang. 

"Untuk sementara lebih baik kau pergi menjauh dulu, Ji. Menghilang sementara waktu sampai situasi kembali kondusif," suruh Tisna memecah lamunanku. 

 "TIDAK, AKU BUKAN PENGECUT! AKAN KUPERJUANGKAN KEBENARAN MESKIPUN DARAH BAYARANYA."

Aku tahu orang-orang desa hanya belum mengerti maksud busuk si Bangsat itu. Mereka hanya para petani yang lupa akan dirinya sendiri karena sejumlah uang dan janji tentang kesejahteraan. Mereka tak tahu dampak buruk apa yang akan terjadi kedepanya jika proyek orang-orang bangsat itu terlaksanakan. Mereka diminta untuk menjual ladang-ladang yang tak seberapa untuk kebutuhan perusahaan, orang-orang desa bukan hanya diberi uang yang tak sesuai dengan harga asli tanah tetapi dijanjikan akan diangkat menjadi buruh tetap perusahaan. Orang-orang desa beranggapan bahwa kehidupan menjadi buruh lebih baik daripada menjadi petani yang menggarap tanah tak seberapa dan hasil panen yang tidak menentu. Menjadi buruh pemasukan sudah pasti. Mereka menyerah menggantungkan nasibnya pada Tuhan yang mereka sembah setiap hari dan berpindah menggantungkan nasibnya kepada si bangsat-bangsat itu. Betapa menyedihkannya ketidaktahuan. 

Meskipun orang-orang desa menjual tanah mereka kepada perusahaan itu, tetapi orang-orang bangsat itu tak bisa seenak jidat meratakan ladang dan membuat proyek baru tanpa tanda tangan dan persetujuanku, sebagai aparat desa setempat. Oleh sebab itu mereka membuat propaganda dan menghasut orang-orang desa agar mereka membuat aku mau menandatangani proyek ini, meskipun dengan paksaan. Orang bangsat itu, menuduh aku sebagai aparat yang ingin memonopoli keuntungan ladang dan membiarkan warga terus menderita dengan nasib yang sama seterusnya. Mereka menyebutku aparat korup yang hanya memikirkan perut sendiri. Sungguh keji fitnah mereka, tetapi yang membuat hati ini pilu bukan fitnah orang-orang bangsat itu, sungguh sedih melihat masyarakat sendiri lebih mempercayai perusahaan dibandingkan aku sebagai pemimpin mereka. Pengaduan demi pengaduan sudah aku sampaikan pada pemerintahan pusat, dewan-dewan rakyat, dan sebagainya. Tetapi bukan pembelaan dan pemenuhan hak yang aku dapatkan, kepahitan tentang sebuah fakta dari rusaknya sistem yang aku dapatkan. 

Ternyata tuan-tuan mulia yang selama ini aku anggap sebagai pembela kepentingan rakyat dari rakusnya para kapitalis yang terus menindas dan memanfaatkan orang-orang kecil adalah pelindung utama mereka di mata hukum. Bahkan sebagian besar dari mereka ikut serta sebagai aktor yang menindas orang-orang seperti kami. 

Dari kejauhan terdengar riuh banyak orang yang meneriaki namaku dengan nada murka. Orang-orang desa sepertinya tahu aku di sini karena kebiasaanku yang setiap hari selalu menghabiskan waktu senja di tempat ini. Istriku sayang, lihatlah betapa tak berdaya suamimu. Tapi, di tempat ini aku merasa terhubung denganmu. Berikankah setitik kekuatan bagiku. 

Sudah tak ada tempat untuk menggantungkan harapan selain menanggung dengan punggung sendiri. Berdiri dengan kaki sendiri. 

"Adji, sekali saja dengarkan nasihat sobatmu ini, kau harus segera pergi dari sini, jika kau mati tak ada perlawanan yang kedua kali," Tisna memegang kerah bajuku. 

"Tidak, aku akan melawan!" Bantahku kepadanya. 

"Dengan apa? Kau sekarang tak berdaya, Ji." Kekuatan sejati manusia adalah hati yang kuat, sedangkan hatiku sudah lelah dan menyerah sejak lama. Yang tersisa dalam diriku adalah tubuh fisik yang hampa. Setidaknya aku melakukan perlawanan. Perlawanan sepenuh jiwa. Hati yang kuat terlalu mewah untuk orang-orang bangsat itu. Biarkan hatiku ini kuabdikan untukmu, sayang. 

"Aku masih memiliki tubuh ini, tubuhku cukup kuat untuk melawan."

"Apa kau gila! Kau berniat menerjang mereka? Kau tahu meskipun aku ikut membantumu itu tetap saja mustahil," kedua tangannya semakin keras memegang kerah bajuku. 

Azan magrib berkumandang di setiap sudut tempat ini, suara riuh orang-orang desa semakin bising terdengar, dari kejauhan sudah terlihat rombongan massa dengan berbagai perkakas di tangan mereka. Parang, senter, tongkat, obor, dan berbagai benda yang selalu siap dilemparkan kepadaku. Aku sudah membulatkan tekad bahwa aku akan melawan. Jika aku harus kalah lagi oleh sistem yang busuk ini, setidaknya aku kalah dalam perjuangan, bukan kepasrahan. Tisna melihat mataku lantas tersenyum dan berkata. "Matamu sama seperti mata para pendekar yang dulu aku hadapi di masa muda ketika berpetualang."

"Aku ada rencana dan butuh bantuanmu," aku berbisik kepada Tisna, "kau antarkan aku bertemu dengan orang-orang perusahaan itu, ajak juga warga desa menyaksikan pertemuan ini."

"Lalu?" Tanya Tisna. 

"Satu hal lagi," kuberikan gawai milikku kepadanya, "pokonya rekam semua kegiatanku di pertemuan itu sedari awal kita datang ke tempat mereka. Akan ada peristiwa besar terjadi. Selepas itu kau sebarkan video aksiku." 

"Aku tak mengerti apa rencanamu, tapi akan kulakukan. Sekarang ayo menghadap warga desa terlebih dahulu."

Tisna dan aku berjalan menghampiri massa yang jaraknya sudah tak jauh dari kami. Mereka berteriak kegirangan tatkala melihat diriku yang berjalan ke arah mereka. Betapa uang bisa mengubah manusia seperti ini. Andai saja mereka tahu kebusukan apa yang menanti mereka, sungguh menyedihkan sebuah ketidaktahuan.

Tisna berjalan di depanku dengan aksinya membuat warga terdiam. Tisna menjelaskan maksudku untuk bertemu langsung pihak perusahaan dan mengajak semua warga menyaksikan pertemuan itu. 

Situasi mendadak tenang, beberapa warga menyayangkan sikapku yang tak setuju sejak awal tentang permasalahan ini, terdengar beberapa orang berkata andai aku setuju sejak awal mungkin ini tak akan terjadi. Betapa menyedihkannya ketidaktahuan, raut wajah mereka menggambarkan kebahagiaan dengan angan-angan sebuah kemenangan atas masalah ini. Mungkin dalam kepala mereka sudah terbayang kesejahteraan palsu yang dijanjikan perusahaan. Tentang menjadi buruh tetap, berpenghasilan tetap. Tak perlu lagi mengadu nasib dengan musim dan tak takut lagi dengan gagal panen. Sungguh betapa menyedihkannya ketidaktahuan. 

Aku, Tisna, dan rombongan warga berbondong-bondong menuju kantor cabang perusahaan yang sudah dibangun di desa sebelah. Berbeda denganku yang bertahan diri dari intimidasi semua pihak, di mana kepala desa sebelah menyambut bahagia perusahaan, meskipun aku tahu kepala desa itu sama rusaknya dengan orang-orang bangsat perusahaan, sama-sama korupnya dengan tuan-tuan wakil rakyat yang duduk di atas, penghuni sistem busuk ini. Dari kejauhan sudah terlihat pria berpakaian rapi menggunakan setelan serba hitam bersama rombongan pihak perusahaan menyambut kedatangan kami. Jarak sepuluh meter aku berbisik kepada Tisna, "lakukan yang aku minta tadi," lantas aku mengambil langkah lebih cepat mengarah ke orang berpakaian rapi itu. Tisna dan rombongan warga berada beberapa langkah di belakangku. Mereka berhenti. 

"Subagja Adji Laksmana... Mengapa harus ada drama di antara kita," orang berpakaian rapi itu membuka kedua tangannya menyambutku dengan posisi tangan seperti ingin memeluk. Menjijikkan! Sedikit pun aku tak tertarik menyetuh kulit najis mereka, apalagi membalas pelukan sialan itu. 

"Saudara sekalian, terima kasih sudah mengantarkanku," aku membalikan badan menghadap ke arah Tisna dan orang-orang desa. 

Sementara pihak perusahaan berada di belakangku. "Apakah kalian yakin ingin menjual ladang kalian? Apa kalian yakin ingin menjual tanah warisan kakek buyut kita terdahulu? Apa yang kalian cari, uang? Betapa berkuasa uang sehingga bisa membeli jiwa kita para petani. Apa kalian mencari kesejahteraan yang oleh pihak mereka janjikan," aku menunjuk orang berpakaian rapi itu, "apakah selama ini kalian kurang sejahtera? Meskipun hasil panen kalian tak seberapa, aku tak pernah sekalipun melihat anak-anak kalian, istri-istri kalian, bahkan kalian sendiri kelaparan..."

 "Subagja… Cukup!!!" Teriak pria berpakaian rapi itu. Aku tetap tak peduli dan meneruskan.

"Betapa hebatnya uang bisa mengubah kalian menjadi bukan manusia lagi. Bertahun-tahun aku hidup bersama kalian, tak pernah sekalipun kalian menyakitiku, jangankan tindakan fisik, tutur kata kalian pun begitu lembut. Tapi karena uang, saat ini kalian bakar habis rumahku, ternakku, bahkan kalian berniat membakar hangus diriku," semua orang membisu. Kulihat Tisna masih merekam, "apakah kalian yakin dengan kesejahteraan yang mereka janjikan, jangan mau di tipu..."

"Cukup Subagja!!! Sekali lagi kau bicara kupastikan kau mati," lagi-lagi pria berpakaian rapi membentak. Aku tak peduli, siapa mereka berani melarangku. 

Kuperhatikan semua wajah orang-orang desa, semua pasang mata menatapku tetapi mereka semua membisu. Aku hampiri Tisna yang masih merekam, tepat di hadapnya kutarik golok yang terselip di pinggang sebelah kanannya. Melihat itu, semua orang panik. 

Dengan lantang aku berteriak "Tenang, aku tak akan melukai siapa pun. Kalian... atau pun kalian," kutunjuk orang-orang desa dan pria berpakaian rapi itu berserta rombongan perusahaannya.

"Tetap rekam," aku berbisik kepada Tisna, "peristiwa penting akan terjadi," aku kembali ke tengah-tengah masa antara warga desa dan rombongan perusahaannya. 

“Hei kalian!" Kutunjuk pria berpakaian rapi itu, "aku Subagja Adji Laksmana tidak akan pernah sudi dengan pembangunan proyek perusahaanmu. Sampai kapan pun. Orang-orang seperti kalian hanya menganggap kami seperti sapi perah yang terus diambil susunya untuk memperkaya kekayaan kalian sendiri. Sedangkan untuk kami, kalian hanya beri sebuah jerami." 

"Hei kalian!" Kutunjuk semua warga desa yang masih membisu, "seperti yang sudah kukatakan tadi, aku tak akan pernah setuju pembangunan yang merusak alam yang aku cintai ini. Tetapi kalian tak usah khawatir, kalianlah yang menentukan nasib anak-anak kalian, istri-istri kalian, dan nasib kalian sendiri. Jadi urusan ini semuanya aku serahkan kepada kalian, wargaku tercinta..."

Oh, istriku sayang, jemputlah, kemarilah, jemput kekasih tercintamu ini. 

Tajamnya golok milik Tisna jawara yang sudah masyhur namanya memang tak perlu diragukan lagi. Pandanganku terhalang oleh semburan darah segar. Sedalam mungkin kugesekan golok ini ke leherku sendiri. Tubuhku lemas. Gelap. Hanya tinggal suara teriakan yang makin lama makin mengecil... mengecil...

Sekilas terdengar suara istriku “Hatimu memang kuat, sayang,” selepas itu benar-benar gelap.


Penulis: Sidiq Nugraha

Editor: Dea Cahaya Ramdona